Qanun,
14/2003 Pelaksanaan Syariat Islam
Bidang Khalwat (Mesum)
DI
S
U
S
U
N
Oleh:
Wewenki Sanusi
(140900106)
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM ( STAI )
TENGKU
DIRUNDENG YAYASAN PENDIDIKAN TEUKU UMAR JOHAN PAHLAWAN
MEULABOH
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis
telah panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, sang Pencipta alam semesta,
manusia, dan kehidupan beserta seperangkat aturan-Nya, karena, berkat limpahan
rahmat, taufiq, hidayah serta inayah-Nya, sehingga penulis dapat vmenyelesaikan
makalah dengan tema“Qanun, 14/2003
Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Khalwat (Mesum)”yang sederhana ini
dapat terselesaikan tidak kurang daripada waktunya.
Maksud dan tujuan dari
penulisan makalah ini tidaklah lain untuk memenuhi salah satu dari sekian
kewajiban mata kuliah, serta merupakan bentuk langsung tanggung jawab penulis
pada tugas yang diberikan.
Pada
kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada Bapak selaku dosen serta semua pihak yang telah membantu
penyelesaian makalah ini baik secara langsung maupun tidak langsung.
Demikian
pengantar yang dapat penulis sampaikan dimana penulis pun sadar bahwasannya
penulis hanyalah seorang manusia yang tidak luput dari kesalahan dan
kekurangan, sedangkan kesempurnaan hanya milik Tuhan yang maha Esa, sehingga
dalam penulisan dan penyusununnya masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang konstruktif akan senantiasa penulis nanti
dalam upaya evaluasi diri.
Meulaboh,...Januari
2013
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................................. ii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah............................................................................... 1
BAB II : PEMBAHASAN
A.
Pengertian Qanun dan Syariah..................................................................... 2
1.
Qanun......................................................................................................
2.
Syariah....................................................................................................
B.
Tujuan Pelaksanaan Syariat Islam................................................................. 4
D.
Keliru Berfikir............................................................................................... 7
BAB III : PENUTUP
KESIMPULAN......................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 9
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Mengenai praktek
penegakan Qanun khalwat terhadap pelaku pelanggaran khalwat di Aceh. Ada tiga
Qanun yang berhubungan Jinayah yang
telah disahkan pemerintah
Aceh pada tahun 2003 yaitu Qanun Khamar dan Sejenisnya,
Maisir (Judi), Khalwat (Mesum).
Penegakannya dari tahun 2004 sampai dengan 2008, melalui keputusan
Mahkamah Syar’iyah dengan
hukuman cambuk atau
denda. Sejak 2009 hingga
saat ini, khusus penegakan qanun
khalwat cenderung diselesaikan dengan pengadilan
adat masyarakat setempat.
Pertanyaan penting di
sini adalah apa faktor
penghambat penegakan qanun
khalwat di Aceh;
apa implikasi dari tidak
ditegakkan sistem hukum
dalam pelaksanaan Qanun khalwat
di Aceh, dan menggunakan
sistem hukum apa
dalam penegakan Qanun khalwat
di Aceh.
Sistem Hukum adalah
suatu susunan atau tatanan hukum yang teratur yang terdiri atas
bagian-bagian yang berkaitan satu sama
lain, tersusun menurut suatu rencana atau
pola yang dihasilkan
dari suatu penulisan
untuk mencapai suatu
tujuan[1].
Tujuan dengan adanya sistem hukum tidak lain untuk mengetahui tindakan atau
perbuatan manakah yang menurut hukum, dan yang manakah bertentangan dengan
hukum.[2]
Secara
umum, dikenal ada 4 model sistem hukum, yaitu Civil Law, Common Law, adatrecht, dan
Hukum Islam. Indonesia
merupakan salah satu
negara yang menganut sistem
hukum ”Eropa Kontinental” atau ”Civil Law”. Kenyataan itu ditandai dari sejumlah
produk hukum yang
ditetapkan pemerintah Indonesia
semuanya berbentuk tertulis, oleh sebab itu, keberlakuan hukum tertulis
itu sangat dipengaruhi oleh kaidah ” ”tiada suatu perbuatan yang boleh dihukum
melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam undang-undang yang terdahulu dari perbuatan
itu” (Nullum delectum nulla poena sine pravia lege poenali)[3].
Prinsip
ini berlaku untuk semua ketentuan
pidana. Tidak terkecuali Qanun
Syari’at Islam yang secara tegas mengatur tentang beberapa pelanggaran jinayah (pidana) seperti:
1. Qanun Nomor
11 Tahun 2002
tentang Ibadah, Aqidah
dan Syi’ar Islam.
2. Qanun
Nomor 12 Tahun 2003 tentang tentang Minuman Khamar
dan Sejenisnya.
3. Qanun Nomor
13 Tahun 2003 tentang
Maisir (Perjudian).
4. dan Qanun
Nomor 14 Tahun 2003 tentang
Khalwat (Mesum).
Sistem
Hukum penegakan qanun jinayah atau jinayah law envorcement sebenarnya
bukan satu-satunya cara
atau alat penaatan
(compliance tool). Penaatan
dapat ditempuh melalui cara-cara lain seperti instrumen ekonomi, public
pressure (tekanan publik) yang efektif, dan pendekatan melalui negosiasi dan
mediasi. Hanya saja, instrumen ini sepertinya belum dilaksanakan pihak penegak
hukum.
Sejak
dinyatakan sebagai wilayah syari’at,
penegakan qanun jinayah di Aceh
mengalami fluktuasi dan dinamika yang
sangat beragam. Pro dan kontra penegakannya tidak dapat dihindari
sehingga pada akhirnya memunculkan kelompok-kelompok pendukung,
tidak mendukung dan
kelompok tidak perduli dengan syari’at
Islam di kalangan masyarakat Aceh.[4]
Qanun
Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum), disahkan pada tanggal 16 Juli
2003, di Banda Aceh bertepatan
dengan 16 Jumadil Awal 1424 H.
Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003 Nomor 27 Seri D Nomor 14, dan
Tambahan Lembaran Daerah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003 Nomor
30. Pada qanun-qanun ini tidak
mengatur mengenai lamanya penahanan ketika proses penyidikan[5],
juga tidak mengatur mengenai penangkapan jika pelakunya melarikan diri[6].
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah diatas maka yang menjadi rumusan masalahnya yaitu:
1. Pengertian
Qanun dan Syariah
2. Pelaksanaan
syariat Islam di Aceh bidang khalwat
A.
Pengertian
Qanun dan Syariah
1. Qânûn
Qânûn
merupakan bentuk hukum nasional yang telah menjadi legal-formal. Artinya hukum
yang telah memiliki dasar dan teori yang matang dengan melalui dua proses,
yaitu proses pembudidayaan hukum dan diformalkan oleh lembaga legislatif[7]. Dengan
kata lain, qânûn merupakan hukum positif yang berlaku pada satu negara yang
dibuat oleh pemerintah, sifatnya mengikat, dan ada sanksi bagi yang
melanggarnya[8].
Qânûn dalam arti hukum tertulis yang telah diundangkan oleh negara bertujuan
untuk:
a. Mendatangkan
kemakmuran;
b. Mengatur
pergaulan hidup manusia secara damai;
c. Mencapai
dan menegakkan keadilan.
d. Menjaga
kepentingan tiap-tiap manusia supaya tidak terganggu.[9]
Qânûn
atau peraturan perundang-undangan khususnya di Indonesia bersumber pada tiga
hukum: hukum kolonial, hukum Islam, dan hukum adat, yang dinamai
"trikhotomi" sebagai symbol dari persaingan tiga hukum tersebut.[10]
2. Syariah
Syariah
secara etimologis (bahasa) berarti jalan keluarnya air untuk minum.[11] Kata
ini kemudian dikonotasikan oleh bangsa Arab dengan jalan lurus yang harus
diturut.[12] Secara
terminologis (istilah), šyarî'ah menurut Syaikh Mahmud Syaltut mengandung arti
hukum-hukum dan tata aturan yang Allah syari'atkan bagi hamba-hambanya untuk
diikuti.[13]
Sedangkan menurut Manna al-Qaţţan, šyarî'ah berarti segala ketentuan Allah yang
disyari'atkan bagi hamba-hambanya, baik menyangkut akidah, ibadah, akhlak,
maupun mu'amalah.[14]
Dari
definisi-definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa syariah itu identik
dengan agama. Dengan kata lain, šyarî'ah adalah konsep substansial dari seluruh
ajaran Islam yang meliputi aspek keyakinan, moral, dan hukum. Hal ini sejalan
dengan firman Allah dalam QS. al-Mâ`idah:48, al-Sûrâ:13, dan al-Jâśiyah:18.
Namun pada perkembangan selanjutnya šyarî'ah ini tertuju atau digunakan untuk
menunjukkan hukum-hukum Islam, baik yang ditetapkan langsung oleh Quran dan Sunnah,
maupun yang telah dicampuri oleh pemikiran manusia (ijtihâd).
B.
Tujuan
Pelaksanaan Syariat Islam
Setiap
aspek kehidupan dalam Syariat Islam pelaksanaannya tidak hanya sebatas
memerintah, melarang, menghalalkan dan mengharamkan tanpa punya maksud dan tujuantujuan
tertentu, seluruh hukum-hukumnya memiliki ‘illat (sebab) yang dapat dipahami
atau dijangkau oleh rasio/pikiran manusia serta mempunyai maksud dan latar
belakangnya, kecuali sebahagiannya yang bersifat ta’abbudi dan yang hikmahnya tidak masuk akal (ma’qul) yaitu ada rincian
rahasia di balik pensyari’ataanya itu
(Yusuf Qardhawi 1991).
Allah SWT. menjadikan Al-Quran sebagai
syifa (obat) huda (petunjuk) dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan yang
mengikutinya sebagaimana firmannya : “Wahai segenap manusia, telah datang
kepadamu ma’izhah (pengajaran) dari
RABBMU dan Syifa (obat) bagi apa yang di dalam hatimu dan petunjuk serta rahmat
bagi orang-orang yang beriman (Qs. Yunus ayat : 57). Namun barang siapa tidak
mentaati seluruh ajaran Allah dan mengabaikannya tidak akan berpengaruh kepada kekuasaan Allah
di langit dan dibumi, dan segala maksiat dan kekufuran mereka tidak akan
mencelakakan Allah tapi justru segala itu akan kembali si pelakunya. Oleh sebab
itu tujuan pelaksanaan Syariat Islam terutama sekali untuk kebaikan manusia itu
sendiri.
Meskipun Syariat Islam telah berlangsung lebih 10
(sepuluh) tahun, secara fenomenalogy prilaku remaja selama ini tidak mengalami perubahan,
bahkan menunjukkan indikasi yang mengkhawatirkan dan peningkatan persentase penyimpangan,
baik ketika mereka berada di lembaga, bahkan lebih parah ketika mereka berada
di luar, seperti beberapa kasus remaja yang ditemukan akhir-akhir ini, dari narkoba sampai
free sex (Abubakar dan Anwar Thn. 2007), sudah dapat dikatagorikan sebagai juvenile delinguency atau remaja berprilaku
menyimpang yang mengandung resiko tinggi.[15]
Hal ini terjadi karena
nilai-nilai Islam yang diberlakukan di Aceh belum bisa masuk menjadi nilai-nilai
struktural formal, dalam berbagai kehidupan masyarakat termasuk program pendidikan, sehingga
prilaku-prilaku tersebut dengan mudah
berkembang. seperti beberapa kasus remaja yang ditemukan akhir-akhir ini, dari narkoba
sampai free sex (Abubakar dan Anwar Thn.
2007), marak terjadi sudah dapat dikatagorikan sebagai juvenile delinguency atau remaja berprilaku
menyimpang yang mengandung resiko tinggi (Kartono 1986 : 8-9).
Demikian
juga halnya dengan Laporan Dinas Syariat
Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2009, Di Banda Aceh sejak tahun
2006 terdapat 132 kasus (42 kasus berat, 90 kasus ringan), tahun 2007 terdapat 149
kasus (47 kasus berat, 102 kasus ringan), tahun 2008 terdapat 103 kasus (22 kasus
berat, 77 kasus ringan), tahun 2009 terdapat 91 kasus (21 kasus berat, 70 kasus ringan) dan sampai dengan
Februari 2010 terdapat 6 kasus khalwat berat.
Dari keseluruhan jumlah kasus yang
ditemukan, sebagian besar pelakunya adalah remaja, hal ini cukup sejalan dengan
studi/survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan (Depkes) RI dan the United Nations Children’s Fund (Unicef),
tercatat bahwa dari jumlah Pekerja Seks Komersil (PSK) yang beroperasi di Aceh,
10 persen di antaranya tergolong berpendidikan tinggi atau berstatus
mahasiswi.
Dari berbagai prilaku menyimpang
dan khalwat yang terjadi selama ini 90%
terjadi pada remaja (Dinas Syariat Islam 2009). 70% lebih berada pada kelompok remaja, yang
berumur 15 tahun ke atas, ini berarti
pada umumnya, usia ini mereka sedang duduk di Sekolah Menengah Atas (SMU) dan perguruan tinggi, di
bawah dan di atas usia peruguruan tinggi
kejahatannya menurun.[16]
Menurut Qanun No. 14 Tahun 2003, khalwat/mesum adalah perbuatan bersunyi-sunyi antara dua
orang mukallaf atau lebih yang berlainan
jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan
perkawinan. Bentuk larangan terhadap khalwat adalah segala bentuk kegiatan,
perbuatan dan keadaan yang mengarah kepada perbuatan zina, sehingga qanun ini kemudian ditetapkan dengan tujuan menegakkan
Syariat Islam dan adat, melindungi masyarakat dari berbagai bentuk kegiatan
dan/atau perbuatan yang merusak kehormatan, mencegah anggota masyarakat melakukan
perbuatan yang mengarah kepada zina, meningkatkan peran serta masyarakat dalam mencegah
dan memberantas terjadinya perbuatan khalwat/mesum, serta dan menutup peluang terjadinya
kerusakan moral.
Untuk memakasimal Qanun Khalwat
tersebut dituntut keterlibatan semua pihak sesuai dengan fungsinya, dan perlu
dirumuskan format keterlibatan yang jelas,
penelitian ini kiranya dapat
ditemukan bagaimana strategi pengimplimentasian qanun khalwat tersebut dalam pencegahan
prilaku khalwat pada remaja di Aceh dapat efektif, dengan rumusan tujuan antara
lain sebagai berikut :
1. Untuk
menggali sejauh mana pelanggaran Qanun No. 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat oleh para remaja Kota Banda Aceh
2. Untuk
menggali bagaimana strategi penerapan Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat
pada remaja Kota Banda Aceh supaya berjalan dengan efektif
3. Untuk
menemukan bagaimana peran dan fungsi instansi terkait dalam penerapan Qanun No.
14 Tahun 2003 tentang Khalwat pada masyarakat Kota Banda Aceh, d. Serta
menemukan kendala – kendala apa saja yang dihadapi oleh pihak-pihak terkait
dalam penerapan Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat pada masyarakat Kota Banda
Aceh.
BAB
III
P
E N U T U P
Kesimpulan
Dari
uraian yang singkat tentang pelaksanaan syariat Islam di Aceh tentang kalwat
(mesum) penulis dapat menarik beberapa kesimpulan, di antaranya:
Untuk memakasimal Qanun Khalwat tersebut
dituntut keterlibatan semua pihak sesuai dengan fungsinya, dan perlu dirumuskan
format keterlibatan yang jelas, kiranya dapat ditemukan bagaimana strategi pengimplimentasian qanun khalwat tersebut dalam pencegahan prilaku
khalwat pada remaja di Aceh dapat efektif.
1. Qânûn
dan šyarî'ah memiliki hubungan yang erat, namun dapat dibedakan di antara
keduanya. Qanun merupakan hukum positif yang berlaku pada satu Negara yang
dibuat oleh pemerintah, sifatnya mengikat, dan ada sanksi bagi yang
melanggarnya. Sedangkan šyarî'ah itu identik dengan agama. Dengan kata lain,
šyarî'ah adalah konsep substansial dari seluruh ajaran Islam yang meliputi
aspek keyakinan, moral, dan hukum.
2. Allah
SWT. menjadikan Al-Quran sebagai syifa (obat) huda (petunjuk) dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman dan yang mengikutinya sebagaimana firmannya : “Wahai segenap manusia, telah datang
kepadamu ma’izhah (pengajaran) dari
RABBMU dan Syifa (obat) bagi apa yang di dalam hatimu dan petunjuk serta rahmat
bagi orang-orang yang beriman (Qs. Yunus ayat : 57).
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qattan,
Manna'. t.t. al-Tašrî wa al-Fiqh fi al-Islâm. Madinah: Muassassah al-Risalah.
Ankersmit,
F.R. 1987. Refleksi tentang Sejarah: Pendapat-pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah.
Jakarta: PT. Gramedia.
Ash-Shiddiqy,
Muhammad Hasbi. 1993 Falsafah Hukum Islam.
Jakarta:Bulan Bintang.
Bisri,
Cik Hasan. 2000. Pilar-pilar Hukum Islam dan Pranata Sosial. Bandung:Lembaga
Penelitian IAIN Sunan Gunung Djati.
Deddy
Ismatullah. 11 September 2007. Materi kuliah Sejarah Sosial Hukum Islam oleh DR. H., SH, M.Hum..
Djamil,
Fathurrahman Filsafat Hukum Islam
Bagian Pertama (Jakarta:Logos Wacana Ilmu. 1997)
Jindan,
Khalid Ibrahim. 1996. Studi Agama: Normativis
atau Historis. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Kansil,
C.S.T. 1992. Pengantar Ilmu Hukum dan
Tata Hukum Indonesia. Jakarta:Balai Pustaka.
Khalaf,
Abd. Wahhab. 1978, 'Ilm Ushul Fiqh. Beirut:Dar al-Fikr.
Mubarok,
Jaih. 2007. Peradilan Agama: Setelah UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 11
Tahun 2006. Bandung: Lembaga Penelitian UIN Sunan Gunung Djati.
Praja,
Juhaya S. 2007. Filsafat Ilmu: Menelusuri
Struktur Filsafat Ilmu dan Ilmu-ilmu Islam. Bandung:Program Pascasarjana
IAIN Sunan Gunung Djati.
Supriyadi,
Dedi. 2002 "Pemikiran Joseph Schacht (1902-1969) tentang Hukum Islam", Khazanah: Jurnal Ilmu
Agama Islam, Vol. 1, No. 2, Juli Desember.
Syafe'i,
Rachmat. "Urgensi Hukum Islam dalam Sistem Negara Modern", Khazanah:
Jurnal Ilmu Agama Islam, Vol. 1, No. 4, Juli Desember 2003.
[1] Abdoel Djamali, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Jakarta,
PT. Raja Grafindo
Persada,
Edisi. 2, 2006, hlm. 67.
[2]
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Indonesia, Jakarta, PN. Balai Pustaka, 1984, hlm. 169.
[4]
Ampuh Devayan dan Murizal
Hamzah, Polemik Penerapan Syari’at Islam
di Aceh, Banda Aceh, Yayasan Insan Cita Madani (YICM), 2007, hlm. 25.
[5]
Ermailis,
Hakim Mahkamah Syar’iyah Lhokseumawe,
Wawancara, Senin 13 September
[6]
Indra Muda Nasution,
Kejaksaan Tinggi Aceh, Wawancara, Jum’at, 17 September 2010.
[7]
Deddy Ismatullah, Materi
Kuliah Sejarah Sosial Hukum Islam
pada tanggal 11 September 2007.
[8]
Rachmat Syafe'i, Materi
Kuliah Qânûn dan Šyarî'ah yang
dilaksanakan pada tanggal 02 Oktober 2007.
[9]
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Indonesia (Jakarta:Balai Pustaka. 1992), hlm. 13.
[10]
Jaih Mubarok, Peradilan
Agama: Setelah UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 11 Tahun 2006
(Bandung:Lembaga Penelitian UIN Sunan Gunung Djati. 2007), hlm. 3.
[11]
Muhammad Faruq Nabhan,
al-Madhal li al-Tasri' al-Islami (Beirut:Dar al-Shadir. t.t), jilid ke-8, hlm.
10.
[12]
Manna' al-Qattan, al-Tasri
wa al-Fiqh fi al-Islam (Madinah:Muassassah al-Risalah. t.t), hlm. 14
[13]
Muhammad Hasbi
Ash-Shiddiqy, Falsafah Hukum Islam
(Jakarta:Bulan Bintang. 1993), cet. ke-5, hlm. 31.
[14]
Manna' al-Qattan, al-Tasri
wa al-Fiqh , hlm. 15.
[15]
Kartono 1986 : 8-9
[16] Kartini Kartono 1996 : 8-9