Senin, 18 Februari 2013

Peraturan Perundang-Undangan Tentang Pelaksanaan Syariat ...


Qanun, 14/2003 Pelaksanaan Syariat Islam 
Bidang Khalwat (Mesum)

DI
S
U
S
U
N
Oleh:

 Wewenki Sanusi 
       (140900106)         


 




SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ( STAI )
TENGKU DIRUNDENG YAYASAN PENDIDIKAN TEUKU UMAR JOHAN PAHLAWAN
MEULABOH
2013



KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis telah panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, sang Pencipta alam semesta, manusia, dan kehidupan beserta seperangkat aturan-Nya, karena, berkat limpahan rahmat, taufiq, hidayah serta inayah-Nya, sehingga penulis dapat vmenyelesaikan makalah dengan tema“Qanun, 14/2003 Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Khalwat (Mesum)”yang sederhana ini dapat terselesaikan tidak kurang daripada waktunya.
Maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini tidaklah lain untuk memenuhi salah satu dari sekian kewajiban mata kuliah, serta merupakan bentuk langsung tanggung jawab penulis pada tugas yang diberikan.
Pada kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak selaku dosen serta semua pihak yang telah membantu penyelesaian makalah ini baik secara langsung maupun tidak langsung.
Demikian pengantar yang dapat penulis sampaikan dimana penulis pun sadar bahwasannya penulis hanyalah seorang manusia yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan, sedangkan kesempurnaan hanya milik Tuhan yang maha Esa, sehingga dalam penulisan dan penyusununnya masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif akan senantiasa penulis nanti dalam upaya evaluasi diri.
                                                                                         

                                                                                            Meulaboh,...Januari 2013


Penulis




DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................................. ii
BAB I      : PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang.................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah............................................................................... 1
BAB II    : PEMBAHASAN
A.    Pengertian Qanun dan Syariah..................................................................... 2
1.    Qanun......................................................................................................
2.    Syariah....................................................................................................
B.     Tujuan Pelaksanaan Syariat Islam................................................................. 4
D.    Keliru Berfikir............................................................................................... 7
BAB III   : PENUTUP
                   KESIMPULAN......................................................................................... 8
                   DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 9




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Mengenai praktek penegakan Qanun khalwat terhadap pelaku pelanggaran khalwat di Aceh. Ada tiga Qanun yang berhubungan  Jinayah  yang  telah  disahkan  pemerintah  Aceh  pada  tahun 2003 yaitu Qanun Khamar dan Sejenisnya,  Maisir (Judi), Khalwat (Mesum). Penegakannya dari tahun 2004 sampai dengan 2008, melalui keputusan Mahkamah  Syar’iyah  dengan  hukuman  cambuk  atau  denda.  Sejak  2009 hingga  saat ini, khusus  penegakan  qanun  khalwat  cenderung  diselesaikan dengan  pengadilan  adat  masyarakat  setempat.  Pertanyaan  penting  di  sini adalah  apa  faktor  penghambat  penegakan  qanun  khalwat  di  Aceh;  apa implikasi  dari  tidak  ditegakkan  sistem  hukum  dalam  pelaksanaan  Qanun khalwat  di Aceh,  dan  menggunakan  sistem  hukum  apa  dalam  penegakan Qanun  khalwat  di Aceh.
Sistem Hukum adalah suatu susunan atau tatanan hukum yang teratur yang terdiri atas bagian-bagian  yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau  pola  yang  dihasilkan  dari  suatu  penulisan  untuk  mencapai  suatu  tujuan[1]. Tujuan dengan adanya sistem hukum tidak lain untuk mengetahui tindakan atau perbuatan manakah yang menurut hukum, dan yang manakah bertentangan dengan hukum.[2]
Secara umum, dikenal ada 4 model sistem hukum, yaitu Civil Law, Common  Law, adatrecht,   dan   Hukum   Islam.   Indonesia   merupakan   salah   satu   negara   yang menganut sistem hukum ”Eropa Kontinental” atau ”Civil Law”. Kenyataan itu ditandai dari  sejumlah  produk  hukum  yang  ditetapkan  pemerintah  Indonesia  semuanya berbentuk tertulis, oleh sebab itu, keberlakuan hukum tertulis itu sangat dipengaruhi oleh kaidah ” ”tiada suatu perbuatan yang boleh dihukum melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam undang-undang yang terdahulu dari perbuatan itu” (Nullum delectum nulla poena sine pravia lege poenali)[3].
Prinsip ini berlaku untuk semua ketentuan  pidana. Tidak terkecuali  Qanun Syari’at Islam yang secara tegas mengatur tentang beberapa pelanggaran  jinayah (pidana) seperti:
1.      Qanun  Nomor  11  Tahun  2002  tentang  Ibadah,  Aqidah  dan  Syi’ar  Islam.
2.      Qanun Nomor  12 Tahun 2003 tentang  tentang Minuman  Khamar  dan Sejenisnya.
3.      Qanun  Nomor  13  Tahun  2003  tentang  Maisir  (Perjudian).
4.      dan  Qanun  Nomor  14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum).
Sistem Hukum penegakan qanun jinayah atau jinayah law envorcement sebenarnya bukan  satu-satunya  cara  atau  alat  penaatan  (compliance  tool).  Penaatan  dapat ditempuh melalui cara-cara lain seperti instrumen ekonomi, public pressure (tekanan publik) yang efektif, dan pendekatan melalui negosiasi dan mediasi. Hanya saja, instrumen ini sepertinya belum dilaksanakan pihak penegak hukum.
Sejak dinyatakan sebagai  wilayah  syari’at,  penegakan qanun  jinayah di Aceh mengalami fluktuasi dan dinamika yang   sangat   beragam. Pro dan   kontra penegakannya tidak dapat dihindari sehingga pada akhirnya memunculkan kelompok-kelompok   pendukung,   tidak  mendukung   dan  kelompok   tidak   perduli dengan   syari’at   Islam   di  kalangan masyarakat Aceh.[4]


Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum), disahkan pada tanggal 16 Juli 2003, di Banda Aceh bertepatan  dengan  16 Jumadil Awal 1424 H. Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam  Tahun 2003 Nomor 27 Seri D Nomor 14, dan Tambahan Lembaran  Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam  Tahun 2003   Nomor   30. Pada qanun-qanun   ini   tidak   mengatur   mengenai   lamanya penahanan ketika proses penyidikan[5], juga tidak mengatur mengenai penangkapan jika pelakunya melarikan diri[6].
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka yang menjadi rumusan masalahnya yaitu:
1.      Pengertian Qanun dan Syariah
2.      Pelaksanaan syariat Islam di Aceh bidang khalwat

A.      Pengertian Qanun dan Syariah
1.    Qânûn
Qânûn merupakan bentuk hukum nasional yang telah menjadi legal-formal. Artinya hukum yang telah memiliki dasar dan teori yang matang dengan melalui dua proses, yaitu proses pembudidayaan hukum dan diformalkan oleh lembaga legislatif[7]. Dengan kata lain, qânûn merupakan hukum positif yang berlaku pada satu negara yang dibuat oleh pemerintah, sifatnya mengikat, dan ada sanksi bagi yang melanggarnya[8]. Qânûn dalam arti hukum tertulis yang telah diundangkan oleh negara bertujuan untuk:
a.       Mendatangkan kemakmuran;
b.      Mengatur pergaulan hidup manusia secara damai;
c.       Mencapai dan menegakkan keadilan.
d.      Menjaga kepentingan tiap-tiap manusia supaya tidak terganggu.[9]
Qânûn atau peraturan perundang-undangan khususnya di Indonesia bersumber pada tiga hukum: hukum kolonial, hukum Islam, dan hukum adat, yang dinamai "trikhotomi" sebagai symbol dari persaingan tiga hukum tersebut.[10]


2.      Syariah
Syariah secara etimologis (bahasa) berarti jalan keluarnya air untuk minum.[11] Kata ini kemudian dikonotasikan oleh bangsa Arab dengan jalan lurus yang harus diturut.[12] Secara terminologis (istilah), šyarî'ah menurut Syaikh Mahmud Syaltut mengandung arti hukum-hukum dan tata aturan yang Allah syari'atkan bagi hamba-hambanya untuk diikuti.[13] Sedangkan menurut Manna al-Qaţţan, šyarî'ah berarti segala ketentuan Allah yang disyari'atkan bagi hamba-hambanya, baik menyangkut akidah, ibadah, akhlak, maupun mu'amalah.[14]
Dari definisi-definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa syariah itu identik dengan agama. Dengan kata lain, šyarî'ah adalah konsep substansial dari seluruh ajaran Islam yang meliputi aspek keyakinan, moral, dan hukum. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam QS. al-Mâ`idah:48, al-Sûrâ:13, dan al-Jâśiyah:18. Namun pada perkembangan selanjutnya šyarî'ah ini tertuju atau digunakan untuk menunjukkan hukum-hukum Islam, baik yang ditetapkan langsung oleh Quran dan Sunnah, maupun yang telah dicampuri oleh pemikiran manusia (ijtihâd).
B.     Tujuan Pelaksanaan Syariat Islam
Setiap aspek kehidupan dalam Syariat Islam pelaksanaannya tidak hanya sebatas memerintah, melarang, menghalalkan dan mengharamkan tanpa punya maksud dan tujuantujuan tertentu, seluruh hukum-hukumnya memiliki ‘illat (sebab) yang dapat dipahami atau dijangkau oleh rasio/pikiran manusia serta mempunyai maksud dan latar belakangnya, kecuali sebahagiannya yang bersifat ta’abbudi dan yang hikmahnya tidak masuk akal (ma’qul) yaitu ada rincian rahasia di balik pensyari’ataanya itu (Yusuf Qardhawi 1991). 
         Allah SWT. menjadikan Al-Quran sebagai syifa (obat) huda (petunjuk) dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan yang mengikutinya sebagaimana firmannya : “Wahai segenap manusia, telah datang kepadamu  ma’izhah (pengajaran) dari RABBMU dan Syifa (obat) bagi apa yang di dalam hatimu dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman (Qs. Yunus ayat : 57). Namun barang siapa tidak mentaati seluruh ajaran Allah dan mengabaikannya  tidak akan berpengaruh kepada kekuasaan Allah di langit dan dibumi, dan segala maksiat dan kekufuran mereka tidak akan mencelakakan Allah tapi justru segala itu akan kembali si pelakunya. Oleh sebab itu tujuan pelaksanaan Syariat Islam terutama sekali untuk kebaikan manusia itu sendiri.
Meskipun  Syariat Islam telah berlangsung lebih 10 (sepuluh) tahun, secara fenomenalogy prilaku remaja selama ini tidak mengalami perubahan, bahkan menunjukkan indikasi yang mengkhawatirkan dan peningkatan persentase penyimpangan, baik ketika mereka berada di lembaga, bahkan lebih parah ketika mereka berada di luar, seperti beberapa kasus remaja yang  ditemukan akhir-akhir ini, dari narkoba sampai free sex (Abubakar dan Anwar Thn. 2007), sudah dapat dikatagorikan sebagai  juvenile delinguency atau remaja berprilaku menyimpang yang mengandung resiko tinggi.[15]
               Hal ini terjadi karena nilai-nilai Islam yang diberlakukan di Aceh belum bisa masuk menjadi nilai-nilai struktural formal,  dalam  berbagai kehidupan masyarakat  termasuk program pendidikan, sehingga prilaku-prilaku tersebut  dengan mudah berkembang. seperti beberapa kasus remaja yang ditemukan akhir-akhir ini, dari narkoba sampai  free sex (Abubakar dan Anwar Thn. 2007), marak terjadi sudah dapat dikatagorikan sebagai  juvenile delinguency atau remaja berprilaku menyimpang yang mengandung resiko tinggi (Kartono 1986 : 8-9).

Demikian juga halnya dengan Laporan Dinas  Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2009, Di Banda Aceh sejak tahun 2006 terdapat 132 kasus (42 kasus berat, 90 kasus ringan), tahun 2007 terdapat 149 kasus (47 kasus berat, 102 kasus ringan), tahun 2008 terdapat 103 kasus (22 kasus berat, 77 kasus ringan), tahun 2009 terdapat 91 kasus (21 kasus  berat, 70 kasus ringan) dan sampai dengan Februari 2010 terdapat 6 kasus khalwat berat. 
         Dari keseluruhan jumlah kasus yang ditemukan, sebagian besar pelakunya adalah remaja, hal ini cukup sejalan dengan studi/survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan (Depkes) RI dan  the United Nations Children’s Fund (Unicef), tercatat bahwa dari jumlah Pekerja Seks Komersil (PSK) yang beroperasi di Aceh, 10 persen di antaranya tergolong berpendidikan tinggi atau berstatus mahasiswi. 
          Dari berbagai prilaku menyimpang dan  khalwat yang terjadi selama ini 90% terjadi pada remaja (Dinas Syariat Islam 2009). 70%  lebih berada pada kelompok remaja, yang berumur 15 tahun ke atas, ini  berarti pada umumnya, usia ini mereka sedang duduk di Sekolah  Menengah Atas (SMU) dan perguruan tinggi, di bawah dan di atas usia peruguruan tinggi  kejahatannya menurun.[16]
             Menurut  Qanun No. 14 Tahun 2003, khalwat/mesum  adalah perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang  mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan  muhrim atau tanpa ikatan perkawinan. Bentuk larangan terhadap khalwat adalah segala bentuk kegiatan, perbuatan dan keadaan yang mengarah kepada perbuatan zina, sehingga  qanun ini kemudian ditetapkan dengan tujuan  menegakkan  Syariat Islam dan adat, melindungi masyarakat dari berbagai bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang merusak kehormatan, mencegah anggota masyarakat melakukan perbuatan yang mengarah kepada zina, meningkatkan peran serta masyarakat dalam mencegah dan memberantas terjadinya perbuatan khalwat/mesum, serta dan menutup peluang terjadinya kerusakan moral. 


                Untuk memakasimal Qanun Khalwat tersebut dituntut keterlibatan semua pihak sesuai dengan fungsinya, dan perlu dirumuskan format keterlibatan yang jelas,  penelitian  ini kiranya dapat ditemukan  bagaimana strategi pengimplimentasian  qanun khalwat tersebut dalam pencegahan prilaku khalwat pada remaja di Aceh dapat efektif, dengan rumusan tujuan antara lain sebagai berikut :
1.      Untuk menggali sejauh mana pelanggaran Qanun No. 14 Tahun 2003 Tentang  Khalwat oleh para remaja Kota Banda Aceh
2.      Untuk menggali bagaimana strategi penerapan Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat pada remaja Kota Banda Aceh supaya berjalan dengan efektif
3.      Untuk menemukan bagaimana peran dan fungsi instansi terkait dalam penerapan Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat pada masyarakat Kota Banda Aceh, d. Serta menemukan kendala – kendala apa saja yang dihadapi oleh pihak-pihak terkait dalam penerapan Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat pada masyarakat Kota Banda Aceh.



BAB III
P E N U T U P

Kesimpulan

Dari uraian yang singkat tentang pelaksanaan syariat Islam di Aceh tentang kalwat (mesum) penulis dapat menarik beberapa kesimpulan, di antaranya:
 Untuk memakasimal Qanun Khalwat tersebut dituntut keterlibatan semua pihak sesuai dengan fungsinya, dan perlu dirumuskan format keterlibatan yang jelas, kiranya dapat ditemukan bagaimana strategi pengimplimentasian  qanun khalwat tersebut dalam pencegahan prilaku khalwat pada remaja di Aceh dapat efektif.
1.      Qânûn dan šyarî'ah memiliki hubungan yang erat, namun dapat dibedakan di antara keduanya. Qanun merupakan hukum positif yang berlaku pada satu Negara yang dibuat oleh pemerintah, sifatnya mengikat, dan ada sanksi bagi yang melanggarnya. Sedangkan šyarî'ah itu identik dengan agama. Dengan kata lain, šyarî'ah adalah konsep substansial dari seluruh ajaran Islam yang meliputi aspek keyakinan, moral, dan hukum.
2.      Allah SWT. menjadikan Al-Quran sebagai syifa (obat) huda (petunjuk) dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan yang mengikutinya sebagaimana firmannya : “Wahai segenap manusia, telah datang kepadamu  ma’izhah (pengajaran) dari RABBMU dan Syifa (obat) bagi apa yang di dalam hatimu dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman (Qs. Yunus ayat : 57).



DAFTAR PUSTAKA

Al-Qattan, Manna'. t.t. al-Tašrî wa al-Fiqh fi al-Islâm. Madinah: Muassassah al-Risalah.
Ankersmit, F.R. 1987. Refleksi tentang Sejarah: Pendapat-pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah. Jakarta: PT. Gramedia.
Ash-Shiddiqy, Muhammad Hasbi. 1993 Falsafah Hukum Islam. Jakarta:Bulan Bintang.
Bisri, Cik Hasan. 2000. Pilar-pilar Hukum Islam dan Pranata Sosial. Bandung:Lembaga Penelitian IAIN Sunan Gunung Djati.
Deddy Ismatullah. 11 September 2007. Materi kuliah Sejarah Sosial Hukum Islam oleh DR. H., SH, M.Hum..
Djamil, Fathurrahman Filsafat Hukum Islam Bagian Pertama (Jakarta:Logos Wacana Ilmu. 1997)
Jindan, Khalid Ibrahim. 1996. Studi Agama: Normativis atau Historis. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Kansil, C.S.T. 1992. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta:Balai Pustaka.
Khalaf, Abd. Wahhab. 1978, 'Ilm Ushul Fiqh. Beirut:Dar al-Fikr. 
Mubarok, Jaih. 2007. Peradilan Agama: Setelah UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 11 Tahun 2006. Bandung: Lembaga Penelitian UIN Sunan Gunung Djati. 
Praja, Juhaya S. 2007. Filsafat Ilmu: Menelusuri Struktur Filsafat Ilmu dan Ilmu-ilmu Islam. Bandung:Program Pascasarjana IAIN Sunan Gunung Djati.
Supriyadi, Dedi. 2002 "Pemikiran Joseph Schacht (1902-1969) tentang Hukum Islam", Khazanah: Jurnal Ilmu Agama Islam, Vol. 1, No. 2, Juli Desember. 
Syafe'i, Rachmat. "Urgensi Hukum Islam dalam Sistem Negara Modern", Khazanah: Jurnal Ilmu Agama Islam, Vol. 1, No. 4, Juli Desember 2003.

[1] Abdoel Djamali, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo
Persada, Edisi. 2, 2006, hlm. 67.
[2] C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta, PN. Balai Pustaka, 1984, hlm. 169.
[3] Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 1 ayat (1).
[4] Ampuh Devayan dan Murizal Hamzah, Polemik Penerapan Syari’at Islam di Aceh, Banda Aceh, Yayasan Insan Cita Madani (YICM), 2007, hlm. 25.
[5] Ermailis, Hakim Mahkamah Syar’iyah Lhokseumawe,  Wawancara,  Senin 13 September
[6] Indra Muda Nasution, Kejaksaan Tinggi Aceh, Wawancara, Jum’at, 17 September 2010.
[7] Deddy Ismatullah, Materi Kuliah Sejarah Sosial Hukum Islam pada tanggal 11 September 2007.
[8] Rachmat Syafe'i, Materi Kuliah Qânûn dan Šyarî'ah yang dilaksanakan pada tanggal 02 Oktober 2007.
[9] C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia (Jakarta:Balai Pustaka. 1992), hlm. 13.
[10] Jaih Mubarok, Peradilan Agama: Setelah UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 11 Tahun 2006 (Bandung:Lembaga Penelitian UIN Sunan Gunung Djati. 2007), hlm. 3.
[11] Muhammad Faruq Nabhan, al-Madhal li al-Tasri' al-Islami (Beirut:Dar al-Shadir. t.t), jilid ke-8, hlm. 10.
[12] Manna' al-Qattan, al-Tasri wa al-Fiqh fi al-Islam (Madinah:Muassassah al-Risalah. t.t), hlm. 14
[13] Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Falsafah Hukum Islam (Jakarta:Bulan Bintang. 1993), cet. ke-5, hlm. 31.
[14] Manna' al-Qattan, al-Tasri wa al-Fiqh , hlm. 15.
[15] Kartono 1986 : 8-9
[16] Kartini Kartono 1996 : 8-9